Belajar dari Ibunda Para Ulama

 'Ini hanya tentang cita-cita wahai Ibunda, yang tidak bisa dicapai di sempitnya kampung kita ini'. Kata Muhammad Ibnu Abi Amir di suatu malam kepada Ibunya. 


'Kalau begitu, mengapa engkau tidak pergi menjemput cita-cita itu?' Timpal ibunya. 'Agaknya engkau tak mau meninggalkanku sendiri di sini. Jika begitu, kau akan menghitung banyak hari sampai aku wafat. Demikian, kau hanya akan memperlambat tercapainya tujuan'. 


'Bukanlah ini yang menyenangkan hatiku, Nak'. Lanjut beliau. 'Sebab tak ada yang membahagiakan hati seorang ibu kecuali tergapainya apa yang diinginkan seorang anak.  Semua potensi ada padamu. Tentang nasab, engkau adalah perpaduan dari Ayah asal Yaman yang terhormat, dan dari Ibu yang bersuku Qais'. 


'Ibu', jawab Ibnu Abi Amir. 'Tengoklah Bani Umayyah di Timur yang sudah punah, padahal mereka adalah amir-amir dari nasab terhormat'. 'Walau begitu', jawab sang Ibu, 'pada dirimu terkumpul tuah itu. Selain nasab, engkau punya ilmu, pengetahuan dan kecerdasan'. 


'Hijrahlah ke Cordova, Nak'. Titah Ibunya. 'Berangkatlah, ambil bagian takdirmu di situ. Dulu Ayahmu hampir saja menjadi Hakim Agung di sana. Namun ia menghindar, ia lari dari segala jabatan seperti larinya dari kejaran binatang buas. Ia khawatir agamanya hilang bila dekat dengan pejabat. Dunia baginya hanyalah persinggahan sementara'. 


'Namun dengan segala penghormatanku pada Ayahmu', lanjut sang Ibu, 'cara pandang yang demikian seolah membagi manusia kepada dua macam; agama tanpa dunia, atau dunia tanpa agama. Lalu dimanakah doa hasanah fid-dunya dan hasanah fil akhirah?' 


'Itulah prinsip Ayahmu, nak'. Lanjut sang Ibu. 'Allah merahmatinya. Namun untuk engkau, aku tidak ridho bila engkau tak mencapai apa yang berhak engkau gapai. Pergilah anakku,  bulatkan tekat'. 'Tidak Ibu, aku tak mau meninggalkanmu, kalaupun aku pergi, engkau harus ikut bersamaku'. Sambut Ibnu Abi Amir dengan mata berkaca. 


'Jika begitu sama saja engkau mempercepat kematianku, nak'. Jawab Ibu. 'Belum lagi sampai ke Cordova, tulang belulangku sudah tercerai-berai, urat-uratku akan putus'. 'Lalu jika aku pergi, siapa yang akan menjagamu Ibu?' isak Ibnu Abi Amir. 'Tenanglah, aku masih bisa memintal benang. Domba kita masih bisa diperah susunya, kebun kurma kita di Tharraz masih ada. Lagipula, kakakmu bersuami laki-laki dermawan. Pergilah, di depanmu hanya ada dua pilihan; sampai kepada tujuan, atau mati berkalang tanah'. 


***


Dan, Ibnu Abi Amir pun berangkat, berbekal Mushaf sang Ayah dan surbannya. Menuju Cordova yang kala itu dipimpin oleh Annashir anak ad-Dakhil. 


Ke Jami' Qurthuba awal langkahnya. Belajar kepada Imam Al-Qaliy al-Baghdadi, Abu Bashir dan sejumlah alim ulama lainnya. Ia jalani hari di Cordova sebagai tukang roti, lalu menjadi Hammar (penyedia jasa keledai untuk membawa barang di pasar), lalu beralih ke penjaga toko kain, penulis ruq'ah dan asisten Qadhi. 


Zaman mengarahkan nasibnya. Hingga ia menjadi Raja Dinasti 'Amiriyyah di Spanyol. Bergelar al-Malik al-Manshur. Tidak pernah kalah dalam satupun pertempuran, keberhasilannya di Eropa melebihi pendahulunya dari Dinasti Umawiyah II. Sampai selembar kain benderanya amat ditakuti musuh. 


Bagitulah alur hidupnya. Tapi di balik segala pencapaian Muhammad Ibnu Abi 'Amir itu ada peran Ibunya.. Ya, dari seorang Ibu..