Jangan Terlalu Pelit Memuji, Sepulang menyampaikan khutbah di salah satu masjid di Padang Panjang, ada seseorang mengirim pesan WA pada saya. Nomor baru. Ia lalu memperkenalkan diri. Ia mendapatkan nomor saya dari pengurus masjid. Dalam pesan itu ia hanya ingin mengatakan, “Khutbah tadi mantap sekali, Ustadz…Pendek dan berisi…”. Hanya itu saja. Ia pun pamit.

Tak bisa saya pungkiri, ada perasaan bahagia ketika mendapat pesan singkat seperti itu apalagi dari orang yang belum pernah kenal sebelumnya. Apresiasi itu terasa sangat murni. Ia bukan basa-basi pengantar yang biasanya berlanjut pada hal-hal ‘lain’ yang kadang kurang diharapkan, seperti, “Ustadz, bisa pinjam uang?” 😁

Pujian ‘kecil’ itu, terus terang, memberikan energi positif pada saya untuk mempertahankan substansi khutbah dan kajian-kajian yang saya sampaikan. Saya berusaha keras bisa memberikan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi jamaah. Pujian itu juga telah mendorong saya untuk lebih memperkuat bobot dari konten-konten kajian yang saya sampaikan sehingga masyarakat benar-benar mendapatkan pencerahan dan pendewasaan dari khutbah dan ceramah yang mereka dengarkan. Seperti kata orang Minang, “Lai tabayia lapeh jo panek mandanga khutbah.”

*** 

Pujian atau apresiasi; sesuatu yang sebagian kita terlalu ‘pelit’ memberikannya. Tapi kalau ada sedikit kesalahan, kekeliruan dan kekhilafan, kita sangat bersemangat untuk menegur, meluruskan dan mengkritik, dengan dalih : “Katakan yang benar meskipun pahit…”. 

Sah-sah saja kita mengkritik, menegur dan meluruskan sebuah kesalahan kalau itu disampaikan dengan cara yang bijak dan menjaga perasaan. Tapi, dimana kita ketika ia melakukan kebaikan, menorehkan prestasi, dan berbagai keunggulan? Kenapa lidah kita begitu ringan dalam mengkritik tapi begitu berat dalam memuji?

Ada yang berkata, “Bukankah Rasulullah Saw sendiri yang melarang kita untuk memuji seseorang di depannya? Sebagaimana dalam hadits :

إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمِ التُّرَابَ

“Kalau kamu melihat orang yang suka memuji maka taburkan tanah ke muka mereka.”

Hadits itu shahih. Terdapat dalam Shahih Muslim. Tapi mari perhatikan apa kata ulama tentang hadits ini. Imam Ibnu Hajar menulis dalam Fathul Bari :

إن المراد من يمدح الناس في وجوههم بالباطل وأما من مدح بما فيه فلا يدخل في النهي فقد مدح صلى الله عليه وسلم في الشعر والخطب والمخاطبة ولم يحث في وجه مادحه ترابا 

“Yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang yang memuji orang lain di depan mereka dengan yang batil. Adapun orang memuji orang lain dengan sesuatu yang memang dimilikinya maka itu tidak masuk dalam larangan ini, karena Nabi Saw sendiri memuji syair, orasi (yang disampaikan seseorang) dan mukhatabah (percakapan), dan beliau tidak menaburkan tanah ke wajah orang yang memuji itu.”

Kita tahu Nabi Saw pernah memuji Abu Bakar sebagai seorang yang imannya mengalahkan iman umatnya, Ali bin Abi Thalib sebagai orang yang paling mengerti hukum, Abu Ubaidah sebagai orang yang paling dapat dipercaya, Abu Hurairah sebagai orang yang paling antusias menghafal hadits, Khalid bin Walid sebagai pedang Allah yang terhunus, dan sebagainya.

Disamping itu, kata الْمَدَّاحِينَ dalam hadits di atas berbentuk mubalaghah, artinya orang yang berlebihan dalam memuji, sehingga pujian itu keluar dari yang benar, memuji orang lebih dari apa yang dilakukannya atau sifat yang ada pada dirinya, pujian yang membuat seseorang menjadi ‘ujub, lupa diri, besar kepala dan seterusnya.

Pujian itu perlu. Apresiasi itu penting. Tentunya dalam kadar yang wajar dan disampaikan secara murni, bukan karena ada udang di balik bakwan 😁

*** 

Dr. Adnan Ibrahim bercerita tentang seorang pengacara yang juga sastrawan bernama Dr. Jihad Abdul Wahab. Ia berasal dari Irak. Disamping pengacara dan sastarawan, ternyata dulu ia adalah seorang perwira militer yang berpangkat tinggi.

Karena menentang berbagai kebijakan Saddam Husein sebagai Presiden waktu itu, ia akhirnya mengungsi ke Austria karena diancam oleh rezim. 

Ia ternyata juga salah seorang murid kesayangan Syekh Ali Thanthawi. Namanya disebut oleh Syekh Ali dalam kitabnya Dzikrayat. Dan hal ini sangat membanggakan Dr. Jihad.

Di usianya yang sudah lanjut, Dr. Jihad masih semangat untuk kuliah. Ia ingin sekali mendalami ilmu kedokteran. Akhirnya di usianya yang ke 75, ia berhasil mendapatkan titel P.Hd dalam bidang kedokteran. 

Ia menceritakan langsung pada Dr. Adnan apa yang ia alami di hari itu ; hari ia meraih gelar Doktor dari Universitas Wina – Austria. 

“Pada hari yang seharusnya sangat bersejarah dan membahagiakan bagi diriku karena mimpiku sejak lebih dari dua puluh tahun untuk mempelajari bidang medis telah tercapai, ternyata menjadi hari yang sangat buruk dan menyedihkan dalam hidupku. Sepulang dari acara penganugerahan gelar itu, aku berniat untuk bunuh diri. Tapi sebelumnya aku shalat dulu dua rakaat. Aku berharap shalat ini bisa meringankan sedikit dosaku.”

Dr. Adnan bertanya, “Kenapa engkau sampai berpikir demikian, Dr?” 

Ia menjawab, “Dua puluh tahun lamanya aku mengejar mimpi ini. Mimpi menjadi seorang dokter. Tapi ketika hal itu aku peroleh, tak seorang pun yang datang padaku untuk mengatakan, “Selamat ya…”. Tak seorang pun yang datang untuk turut berbahagia bersamaku. Aku merasakan kehampaan. Seolah hidup ini tiada berguna.

Aku pun mengambil pistol untuk bunuh diri. Tapi sebelum aku sempat melakukannya, tiba-tiba ada sosok putih berdiri di dekat pintu dan melihat ke arahku dengan sangat tajam. Sosok itu mengingatkanku akan berbagai nikmat yang telah aku rasakan selama ini. Apakah hanya karena tidak ada yang memberikan pujian dan apresiasi di hari yang bersejarah ini, aku lalu memutuskan untuk bunuh diri? Apakah aku sekerdil itu?

Itu menyadarkanku. Tiba-tiba aku merasakan kebahagiaan, ridha dan ketenangan yang luar biasa. Sangat kontras dengan apa yang aku rasakan beberapa saat yang lalu. Ternyata nikmat yang aku rasakan selama ini jauh lebih besar dari sedikit cobaan yang aku terima hari ini.”

*** 

Satu pujian bisa jadi nafas baru bagi orang yang dipuji. Satu apresiasi bisa jadi semangat baru bagi yang diapresiasi. Nafas dan semangat yang akan merubah dirinya menjadi lebih baik dan bermanfaat, bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.

“Jangan terlalu pelit memuji. Tapi di saat yang sama janganlah berharap untuk dipuji.”

[Yendri Junaidi]